Langkah-Langkah dari Tanah Sawah

 

Angin pagi menyapu lembut punggung Nara saat ia mengayuh sepeda tuanya melewati pematang sawah. Aroma basah tanah dan gemerisik daun padi sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil. Ayahnya, Pak Darto, adalah petani sederhana di kampung kecil di Purwakarta. Sejak kelas dua SMP, Nara sudah membantu menanam dan memanen padi, menyadap karet, bahkan mencari rumput untuk kambing tetangga agar bisa mendapat uang tambahan.

Namun, di balik lelah dan lumpur di kakinya, ada satu mimpi yang tak pernah padam: kuliah.

“Pak, Nara mau lanjut sekolah ke Bandung. UIN Sunan Gunung Djati...” ucapnya suatu malam sambil duduk di beranda rumah, hanya ditemani lampu minyak dan suara jangkrik.

Pak Darto diam lama. Lalu, dengan suara serak ia menjawab, “Kalau itu mimpi kamu, Nak... kejar. Bapak nggak bisa kasih banyak, tapi Bapak percaya kamu bisa cari jalannya.”

Dengan tekad dan beasiswa bidikmisi yang akhirnya ia raih, Nara pun resmi menjadi mahasiswa di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Dunia baru terbuka lebar. Gedung-gedung tinggi, orang-orang dari berbagai kota, pelajaran yang berat, dan tuntutan biaya hidup yang jauh dari ringan.

Berhari-hari ia menahan lapar demi mengirit uang bulanan. Pernah suatu kali ia hanya makan nasi dan garam selama tiga hari. Tapi baginya, rasa lapar tak seberapa dibanding kerinduan akan sawah dan orang tuanya.

Suatu sore, Nara duduk sendiri di taman kampus, wajahnya lesu. Seorang senior menghampirinya.

“Kamu anak Purwakarta ya?” tanya lelaki itu, mengenakan jaket organisasi bertuliskan PERMATA Cabang Bandung.

“Iya, Kak. Kok tahu?”

“Ada aura kampung kita di raut wajah kamu,” jawabnya sambil tertawa. “Aku Ilham. Kita ada komunitas mahasiswa Purwakarta di sini. Gabung, yuk.”

Pertemuan itu menjadi titik balik. Nara merasa menemukan rumah kedua. Di PERMATA, ia tak hanya menemukan teman seperjuangan, tapi juga wadah untuk belajar lebih dalam soal organisasi, kepemimpinan, hingga sosial kemasyarakatan.

Ia mulai aktif mengurus kegiatan sosial, mengajar anak-anak jalanan di Bandung, bahkan sempat dipercaya menjadi koordinator bidang pendidikan. Di balik kesibukannya, ia tak pernah melupakan tujuan awalnya: belajar dan membawa perubahan untuk desanya.

Empat tahun berlalu. Nara berdiri di atas panggung wisuda, dengan toga yang hampir kebesaran di tubuh kurusnya. Di bangku penonton, Pak Darto dan Ibu menangis haru, mengenakan pakaian terbaik mereka, meski sederhana.

Saat namanya dipanggil sebagai salah satu lulusan terbaik jurusan Pendidikan Agama Islam, tepuk tangan menggema di ruangan. Namun yang paling berharga baginya bukanlah piagam atau predikat cumlaude, melainkan senyum ayahnya yang untuk pertama kalinya ia lihat tanpa beban.

Hari itu, Nara tahu, bahwa langkah-langkah kecil dari pematang sawah bisa sampai ke pelataran mimpi. Dan dari Bandung, ia akan kembali ke Purwakarta, bukan sebagai anak petani biasa, tapi sebagai pelita baru untuk tanah kelahirannya.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama